Tulisan ini didasarkan pada pemantauan saya pada beberapa perusahaan
yang bergerak dalam sektor industri manufaktur Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), untuk mengulas permasalahan yang dihadapi sektor ini ditinjau dari
sudut pandang ekonomi manajerial. Tepatnya ada 10 BUMN (Persero) yang saya
gunakan sebagai sample dalam tulisan ini, yaitu : PT Krakatau Steel, PT
Dirgantara Indonesia, PT Inti, PT Len Industri, PT Dahana, PT Pindad, PT Inka,
PT Barata Indonesia, PT Boma-Bisma-Indra, dan PT PAL Indonesia.
Dengan keterbatasan ruang yang tersedia, tulisan ini tentunya hanya
mengulas permasalahan pokok yang dihadapai sektor ini yang diharapkan dapat
menjadi sumbangan pemikiran bagi peningkatan daya saingnya dikemudian hari.
Tulisan ini juga menyinggung beberapa permasalahan manajerial dalam
pengelolaan perusahaan yang hangat dibicarakan belakangan ini.
1. Masalah Organisasi, Hukum, dan Good Corporate Governance
Dilihat dari aspek struktur organisasi perusahaan, kegiatan
berproduksi pada sebagian besar industri manufaktur di Indonesia masih dikelompokkan
dibawah "kotak" yang dinamakan Direktur Produksi. Sedangkan dengan
berkembangnya informasi dan komunikasi serta dampak dari globalisasi, industri
manufaktur di negara-negara maju telah menggunakan penamaan Direktur Operasi
yang fungsinya adalah mengelola aspek desain, kualitas, sumber daya
manusia, strategi proses, strategi lokasi, strategi lay-out, supply chain
management (SCM), inventory management, scheduling, dan maitenance sebagai
kesatuan yang terpadu.
Penulis berpendapat bahwa industri manufaktur di Indonesia perlu
segera mengadopsi perubahan paradigma baru (sebenarnya sudah cukup lama)
ini, karena apabila tetap menggunakan penamaan Direktur Produksi, banyak
sekali keputusan yang tertunda karena decision flow menjadi terhambat,
apalagi bila terdapat birokrasi yang berlebihan dalam suatu organisasi. Melalui
pemusatan tanggung jawab dibawah satu orang, borderless organization akan
terbentuk dan pelaksanan kegiatan operasi menjadi sangat efisien. Demikian
pulan dengan penamaan/penugasan Direktur Operasi, masalah Engineering,
Procurement, Construction, yang menjadi masalah pokok pada sektor
industri manufaktur di BUMN dapat dieliminir. Itulah sebabnya dalam sistem
Statutory Law yang berlaku di Amerika Serikat misalnya, kita mengenal
istilah/peran dari apa yang dinamakan Chief Operations Officer (COO).
Berbicara mengenai Officer, ada satu hal yang aneh dengan pengelola
BUMN saat ini, yaitu penggunaan kata Officer bagi Direksi BUMN. Apabila
kita mengkaji Undang-undang No.1 tahun 1995 tetang Perseroan Terbatas dan
Undang-undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, kita tidak akan
menemukan istilah Officer.
Undang-undang No. 1 tahun 1995 menganut Two Board System, dimana
terjadi pemisahan yang jelas antara Direksi dan Komisaris. Sedangkan
Statutory Law menganut One Board System di mana dalam Board ini duduk para
Direktor dan Komisaris; untuk menjalankan pengelolaan perusahaan sehari-hari
Board of Directors menunjuk para Officers, yang diberi kekuasaan penuh untuk
mewakili perusahaan. Member of The Board juga dapat dipilih menjadi Officer
termasuk Chief Executive Officer (CEO).
Yang saya maksudkan dengan aneh adalah peristiwa pemilihan dan
penobatan CEO terbaik di Indonesia baru-baru ini. Barangkali dengan maksud
merangsang prestasi seorang Direktur Utama BUMN, beberapa minggu yang lalu telah
dilakukan pemilihan Chief Executive Officer terbaik (maksudnya
mungkin Direktur Utama terbaik?) di Indonesia. Tidak tangung-tangung,
penganugrahan CEO terbaik ini (menurut berita) diserahkan oleh Presiden Megawati
sendiri.
Padahal sebagaimana disebut diatas, kita tidak menganut apa yang
dinamakan Officer. Mengapa tidak memilih Direktur Utama terbai saja, misalnya;
atau mungkin istilah Direktur Utama kalah gagah kedengarannya dari CEO?
Kalau memang demikian, ganti saja sistemnya menjadi One Board System.
Dikuatirkan pencampuradukan istilah CEO dengan Direktur Utama ini,
dapat mengganggu prinsip Good Corporate Governance (yang sangat gencar
dikumandangkan), mengingat keduanya menganut dsar hukum yang berbeda.
2. Masalah Biaya dan Pendanaan
Industri manufactur pada umumnya adalah industri padat modal dan
mempunyai operating leverage (rasio antara biaya tetap dan biaya variabel
total) yang tinggi.
Sebagai industri padat modal (pada umumnya), sebuah industri
manufaktur harus menekan biaya variabel serendah-rendahnya. Oleh karena itu
(mengingat biaya variabel yang antara lain mencakup biaya buruh langsung),
adalah sangat naif pendapat yang mengatakan bahwa suatu industri padat modal
sekaligus dapat menjadi industri padat karya. Kecuali apabila nilai
tambah(diukur dari contribution margin) sanngatlah tinggi (misalnya,
diatas 75%). Apabila prinsip ini tidak dipahami sepenuhnya, maka resikonya
adalah sebuah perusahan industri manufaktur akan sangat sulit mencapai
Break-Even Point. Resiko ini makin besar lagi mengingat fluktuasi pencapaian
penjualan sebuah industri manufaktur (by nature) sangat tinggi dari waktu ke
waktu.
Banyak industri manufaktur yang menghasilkan industrial goods, yaitu
produk yang kegunaanya tidak untuk dikonsumsi, tetapi untuk dioperasikan
mencari uang lagi, seperti kapal, pesawat terbang, taksi, dan sebagainya.
Bagi perusahaan yang berbisnis dalam produk ini, maka tersedianya paket
kredit ( baik kredit dalam negeri maupun kredit eksport) sangat dibutuhkan
untuk menciptakan penjualan. Secanggih apapun industrial goods, tanpa
fasilitas kredit/kredit ekspor, transaksi untuk menciptakan sales sangatlah
sulit terjadi.
3. Masalah Kemampuan Penguasaan Cross-Functional Area
Total Quality Management, misalnya, masih belum menjadi agenda
penting dalam pertemuan RUPS pada beberapa BUMN walaupun topik ini sangat penting
bagi industri manufaktur; rapat lebih banyak memfokuskan diri pada aspek
keuangan saja, yaitu laba atau rugi.
Demikian pula, kita tahu bahwa hidup matinya sebuah perusahaan
tergantung pada empat perspektif utama, yaitu: prespektif pemasaran,
operasi/produksi,
keuangan, dan learning organization & pertumbuhan. Dalam lingkungan
yang bersaing, kemampuan untuk menguasai keempat prespektif ini sangat
diperlukan. Oleh sebab itu, pengelola BUMN harus mempunyai expertise
yang cross-functional. Dari hasil penelitian para pakar manajemen
disimpulkan bahwa kemampuan menguasai keempat perspektif ini sudah menjadi
persyaratan bagi pimpinan perusahaan masa depan, sebagaimana ditulis dalam sebuah
artikel berjudul "The Business Leader of the Future" (Harvard B-School, Business Week, July 19, 1993).
4. Masalah Suku Cadang dan Entrepreneurship
Salah satu penyebab dari lemahnya daya saing industri manufaktur di
Indonesia adalah tidak siapnya pemasok suku cadang untuk produk
industri manufaktur. Oleh sebab itu entrepreneurship berbasis teknologi
(technopreneurship) sudah mutlak dikembangkan di Indonesia. Salah
satu cara meningkatkan kemampuan entrepreneurship di Indonesia adalah dengan
menciptakan inkubator bisnis di industri, tentunya dengan
bekerjasama dengan penyedia dana bagi pebisnis pemula (venture capital) seperti PT
PNM(Persero), Venture Capital yang berada di berbagai propinsi, dan
lain-lain.
5. Masalah kepemimpinan
Dari semua industri penghasil produk dan jasa, learning process
paling banyak terjadi di sektor industri manufaktur; oleh sebab itu dari
pemimpin perusahaan sektor industri ini sangat dibutuhkan:
- Pemimpin yang mampu mengatasi konflik antar fungsi-fungsi
manajemen yang (lag-lagi by nature) adalah ciri khas dari sektor Industri ini.
Kemampuan ini hanya dapat dimiliki oleh seorang pemimpin sektor industri
manufaktur apabila ia menguasai cross-functional area sebagaimana disebut
diatas.
- Pemimpin yang visonary, yang mampu menyelaraskan visi, misi, tujuan
strategi dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kebijakan
perusahaan.
Hanya dengan cara ini budaya profesional dapat timbul pada BUMN kita.
6. Masalah Change Management
Untuk menyehatkan BUMN, sudah banyak konsultan kelas dunia yang
diminta bantuannya; sebut saja AT Kearney, Booz Allen Hamilton, Japan
Indonesian Forum, dan masih banyak lagi. Semuanya berbicara mengenai jargon-
jargon management yang mutahir, seperti restrukturisasi, revitalisasi,
reengineering, reborn, reviving dan seterusnya......semuanya
bertujuan untuk menyehatkan perusahaan. Tetapi apa hasilnya? Untuk menjawab
pertanyaan ini, bandingkan saja dengan apa yang dicapai oleh Motorola misalnya.
Berkat upaya resturkturisasi yang sama dengan yang dilakukan BUMN pada umumnya,
namun berbeda dalam hal komitmen, Motorola dapat mencapai kualitas Six
Sigma (atau prefection rate sebesar 99,99997%), setelah belajar dari peningkatan
produktivitas Hitachi yang ambisius sebesar 200% dalam satu tahun.
Jadi mengapa restrukturisasi tidak banyak membuahkan hasil di BUMN
kita?
Menurut pendapat saya penghalang utamanya terletak pada tahap
implementasi dari segudang upaya penyehatan yang disebut di atas tadi. Dalam hal
ini program mengubah dan komitmen para pelaku bisnis itulah yang paling
perlu dilakukan secara terus-menerus, konsisten dan dikomunikasikan dengan
baik; salah satu program yang disarankan antara lain adalah program yang
dinamakan Change Acceleration Process (CAP). Kunci keberhasilan program ini
adalah, pada setiap organisasi yang sedang menjalani proses restrukturisasi
harus ada beberap champions, yaitu tokoh-tokoh pembaharu yang dijadikan
panutan, termasuk Direktur Utama yang terus-menerus melakukan komunikasi
dengan seluruh karyawan.
Sebagai penutup, penulis ingin meneruskan pesan dari Jack Welch,
mantan CEO General Electric, pemimpin perusahaan sektor industri manufaktur yang
termasyur itu. Dalam suatu diskusi di GE Training Center di
Crottonville, beliau mengatakan bahwa masalah utama yang dihadapinya dalam
memimpin GE adalah: Komunikasi...... memang, komunikasi adalah masalah kita
semua, baik perusahan industri non-manufaktur apalagi perusahaan industri
manufaktur.
sangat menginspirasi. terima kasih
BalasHapussemoga BUMN kita bisa menjadi contoh bagi industri lainnya di tanah air...
BalasHapus